Medan Solusi Amblesnya Jalan Re Martadinata

No Comments
Jalan RE Martadinata yang menjadi jalur vital penghubung ke Pelabuhan Tanjung Priok, gres setahun kemudian ditinggikan dan dibeton. Namun kini sudah ambles. Jalan yang ambrol sepanjang 103 meter, ke dalam air bahari sedalam 7 meter. Sebelum ditinggikan, Jalan Martadinata sempat menjadi langganan banjir jawaban meluapkan air di muara laut.

Nah, akhirnya Kerugian ditaksir mencapai 2,8 Milyar, dengan perhitungan lebar dikalikan dengan bentang dan pekerjaan tiap m perseginya. Menurut pakar geodesi, penyebab ambrolnya jalan tersebut yakni abrasi air laut. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pengerukan lumpur di Kali Japat, sehingga memengaruhi kondisi permukaan tanah pada ruas Jalan R.E. Martadinata. Juga jawaban terjadinya penuruan tanah sebesar 60 cm untuk tiap 10 tahun.

Jalan R.E Martadinata, yang ambrol tersebut yakni jalan dari beton, tepatnya lagi yakni pavement beton pada permukaannya. Karena beton, maka permukaannya lebih kaku dibanding aspal. Makara bila ada tanah dibawahnya mengalami penurunan, yang bersifat lokal atau setempat, maka permukaan beton di atasnya tetap kaku, rata. Makara penurunan tanah setempat tadi tidak terlihat. Beban dari atas dipindahkan oleh permukaan beton ke belahan tanah lain yang tidak mengalami penurunan. Kondisi ini terang berbeda dibanding bila jalannya menggunakan asphalt. Jika ada penurunan tanah, maka permukaan jalan di atasnya juga ikut turun.

Meskipun menggunakan pavement beton, yang terlihat sangat besar lengan berkuasa (dari atas). Tetapi kekuatan jalan menyerupai itu bergotong-royong ditentukan oleh tanah di bawahnya. Beton permukaan yang diatas, yang kelihatannya sangat kaku tersebut bergotong-royong hanya berfungsi sebagai lapisan permukaan jalan saja, bukan struktur secara keseluruhan. Oleh alasannya yakni itu disebut sebagai pavement beton. Makara dikala tanah dibawahnya terlarut oleh pengikisan air laut, maka akan ada sebagian tanah dibawah permukaan jalan menjadi berongga (sebagian hilang). Ketika itu terjadi bertahun-tahun (abrasinya) maka kekuatan tanah di bawah jalan menjadi hilang. Maklum berat beton di atasnya khan cukup signifikan.

Kondisi tersebut kelihatannya sudah dipahami oleh PU, yang kemudian diusulkan oleh Dr. Ir. Achmad Hermanto Dardak, MSc (Ir dari ITB, sekaligus penyandang gelar doktor di bidang transportasi ekonomi dari New South Wales, Australia), memang dikenal sebagai birokrat, sekaligus pakar di bidang transportasi. Beliau memperlihatkan solusi untuk menggantinya dengan konstruksi pile-slab. Itu berarti, slab beton duduk di atas sekumpulan pondasi tiang yang menghunjam jauh ke bawah tanah. Ini menyerupai konstruksi dermaga. Tanah  di bawah jalan tersebut dianggap tidak ada. Makara bila dulu, jalan tersebut pakai sistem pondasi dangkal, yaitu lansung di atas tanah, dan hancur alasannya yakni adanya arus bahari maka kini diganti dengan sistem pondasi dalam, yaitu menempatkan tiang- tiang pancang yang tugasnya memikul slab diatasnya. Nah, pembangunan renovasi ini diperkirakan mencapai 7 Milyar, dengan waktu antara 2- 3 bulan.

Kurang lebih menyerupai ini renovasi yg akan dilakukan, dengan pemasangan tiang- tiang pancang


Ide pak Hermanto di atas, rasanya tidak salah. Itu yakni salah satu alternatif solusi.
Kenapa tidak dibangun Jembatan saja ya...?
Nah.., Karena di bawah jalan tersebut bukan pedoman sungai, maka tiang pancang sanggup disebar merata pada jarak sedemikian sehingga tebal pelat slab cukup irit untuk memikul beban lalulintas. Konstruksi pelat sendiri monolith, continue sehingga tidak diharapkan siar dilatasi, kecuali di pinggir-pinggirnya saja. Untuk kondisi tersebut terang sistem pile-slab akan lebih irit dan lebih sederhana dibanding konstruksi jembatan. Meskipun bergotong-royong pile-slab itu sendiri juga bergotong-royong konstruksi jembatan menerus tetapi bentang-bentangnya pendek-pendek (sejarak tiang pancang tersebut).


----------------
Yang ganjil dalam insiden ini yakni mengapa hingga terjadi pengikisan air laut.? Karena kalau melihat dari foto di atas, jalan tersebut letaknya di pinggir bahari / sungai jadi mestinya dipinggirnya telah dipasang sheet-pile yang berfungsi sebagai dinding penahan tanah. Jika itu sudah dipasang, maka tentunya ancaman pengikisan air bahari tidak akan mengancam sebegitu tragisnya menyerupai insiden di atas.

Masalahnya yakni apa betul tidak dipasang sheet pile. Setahu saya pemasangan sheet pile di lokasi menyerupai di atas mestinya telah menjadi mekanisme standar pembuatan jalan menyerupai itu. Akan menjadi masalah, dan perlu dicari alasannya, bila ternyata telah dipasang sheet pile dan kelongsoran menyerupai di atas tetap terjadi. Jika begitu adanya maka potensi kelongsoran di daerah lain sanggup saja terjadi.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar

Posting Komentar