tumpangi siang itu melesat dengan cepat meninggalkan parkiran. Kini kami akan menuju destinasi selanjutnya, yakni Benteng Fort Rotterdam.
Ketika kendaraan beroda empat tidak jauh lagi dari jembatan ketika kami masuk, tiba-tiba sang sopir menghentikan kendaraan beroda empat yang ia kemudikan. Salah seorang dari kami pun bertanya, kenapa berhenti pak? Namun ia tak pribadi menjawab, malah bertanya pada beberapa belum dewasa yang kebetulan juga pas berada di samping mobil. Mendengar pertanyaan yang diajukan kepada belum dewasa tersebut, kami pun pribadi paham. Ternyata ia mencoba mencari jalan pintas alasannya kalau lewat jalan yang sama ibarat ketika kami datang, maka dijamin bakalan kena macet.
Ya udahlah, apa kata pak supir saja. Yang penting dapat cepat hingga benteng.
Lalu, kendaraan beroda empat pun dimundurkan sedikit sebelum mengambil haluan ke arah kiri dan segera melesat dengan cepat. Menariknya, hampir sepanjang jalan yang kami lewati, baik di kiri dan kanan berjejer banyak perumahan dan dari penampakannya masuk kategori elit. Gak berapa usang kemudian, sampailah kami dijalan utama, yakni jalan Metro Tanjung Bunga serta tidak jauh dari Trans Studio Mall yang berdasarkan selentingan kabar burung merupakan tongkrongan barunya sebagian warga Makassar. Kecepatan kendaraan pun mulai di tingkatkan mumpung kondisi jalanan gak terlalu ramai. Bahkan kami juga melewati beberapa daerah lainnya yang sudah nge-tren dan sering dikunjungi juga oleh warga Makassar, ibarat Celebes Convention Center (CCC), Masjid Amirul Mukminin, dan terakhir pantai pujian yang tiada henti di kunjungi, baik itu pagi, siang, sore, atau malam hari.
Ya... apalagi kalau bukan pantai yang populer dengan nama Pantai Losari. Oh iya, ketika lewat Pantai Losari hari itu (menjelang sore) lagi ada launcing Aparong (Apartemen Lorong). Sebuah bangunan yang di khususkan buat anak lorong yang daerah tinggalnya masuk kategori tidak layak. Keren kan!
Setelah pantai itu terlewati, sampailah kami di destinasi terakhir yang akan dikunjungi hari itu, yakni Benteng Fort Rotterdam. Saat kami tiba, suasananya masih sama dengan ketika kami tinggalkan alias ramai. Yah... ibarat itulah suasananya setiap kali selesai pekan. Dimana sudah di anggap sebagai salah satu tongkrongan favorit warga setiap selesai pekan tiba. Enggak anak-anak, remaja, anak gres gede, para alayer, orangtua, bahkan lansia pun ada yang berkunjung ke sana.
Sembari menunggu akseptor lainnya yang ikut di kendaraan beroda empat satunya lagi, saya dan teman-teman yang sudah tiba duluan pribadi menuju pintu masuk serta tidak lupa mengisi buku daftar pengunjung yang letaknya di pos sebelah kiri pintu masuk. Setelah mengisi buku daftar tersebut, saya menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan petugas disana sambil sesekali bertanya. Contohnya : Pak, kapan di renovasi ini bangunan? Aku lihat bangunannya ibarat masih baru. Petugasnya pun menjawab, sekitar tahun 2010.
Kemudian, petugasnya balik bertanya. Adek belum pernah ke sini! Aku pribadi menjawab, sudah pernah pak, tapi awal tahun 2009. Deh... tahun 2009, udah usang juga bro... sekitar 6 tahun yang kemudian kalau di itung-itung. Itu pun alasannya ada aktivitas ekstrakurikuler, tepatnya berguru sketsa.
Maklum selama ini cuma lewat doank di depannya setiap kali ngantarin orangtua ke pelabuhan. Pernah juga ke situ, tapi hingga depannya doank buat minum es kelapa sore-sore sambil nunggu matahari terbenam.
Karena teman-teman akseptor sudah lengkap semuanya, dialog dengan petugas benteng pun gak saya lanjutin lagi. Aku segera menyusul teman-teman dan mencari-cari mereka ibarat anak ayam yang kehilangan induknya.
Untungnya pencarianku gak berlangsung lama, alasannya mereka ternyata berada di gedung tengah. Gedung yang dulu menjadi objek untuk dijadikan sketsa. Dan beruntungnya lagi, hari itu gedungnya lagi buka alasannya secara kebetulan gres saja ada yang habis yang melaksanakan tour ke situ. Alangkah senangnya kami... duh, rejeki emang gak kemana ya!
Lagi Asyik Berkerumun, Dok. Pribadi |
Kami pun dipersilahkan masuk. Dan tak perlu menunggu waktu lama, pribadi berkerumun di depan sebuah maket dan mulai memberondong petugasnya dengan banyak sekali pertanyaan seputar sejarah Benteng Fort Rotterdam. Adapun pertanyaan yang kami olok-olokan sekaligus tanggapan dari sang petugas, yakni sebagai berikut :
- Kapan terakhir kali gedung ini di pugar/renovasi? Tidak beda jauh dengan yang saya dengar dipetugas di pos, yakni sekitar pertengahan tahun 2010.
- Bangunan ini semuanya merupakan peninggalan Belanda apa bukan? Tidak semua, ada satu gedung yang tidak selesai dikerjakan dan yang menyelesaikannya ialah pemerintah Jepang. Tepatnya gedung yang berada di sudut, sambil menawarkan posisinya di maket.
- Konon katanya, ada jalan diam-diam dibawah benteng ini yang tembus hingga Karebosi? Dulu memang ada, tapi gak hingga Karebosi melainkan hanya hingga bangunan yang ada di depannya, alasannya batas tembok dulunya hingga disitu sebelum mengalami pemugaran beberapa kali di jaman Belanda.
- Apa hubungannya Kerajaan Buton dengan Pasar Butung? Butung atau yang kini ini di kenal Pasar Butung merupakan hadiah dari Kerajaan Gowa sebagai bentuk persahabatan kedua belah pihak.
- Kenapa bentuk bangunannya kaya penyu kalau dilihat dari udara. Apa ada filosofinya? Bentuk gedungnya ibarat demikian semoga dapat bertahan dari serangan musuh. Mengenai filosofi, dari yang diketahui ternyata tidak ada. Memang desainnya semenjak jaman Belanda ibarat itu dan gak ada filosofinya.
Dan masih banyak lagi pertanyaan lain, tapi gak saya ingat. Dari yang saya perhatikan sang petugas seakan tidak gentar. Sepertinya ia punya motto yang beda tipis dengan motto pemadam kebakaran, yang bunyinya : “Pantang pulang sebelum padam”. Mungkin motto yang ia punya ibarat ini : “Pantang keluar ruangan sebelum pertanyaan terjawab”. Hehehe...
Sesi tanya jawab pun berakhir. Kami pun keluar dari ruangan tersebut dan meregangkan segala otot-otot sambil bersenda gurau dan bebas ketawa-ketiwi ibarat orang yang tidak punya beban sama sekali. Kami juga tidak lupa mengabadikan moment sore itu sebelum beranjak pulang.
Sebelum Pulang, Sumber : www.indohoy.com |
Terakhir, ketika akan melangkahkan kaki menuju pintu gerbang, tiba-tiba perhatian kami teralihkan pada sekumpulan dewasa yang sedang bernarsis ria. Namun bukan cara narsisnya yang jadi perhatian kami, melainkan apa yang tertulis di baju, beberapa goresan pena yang dibawa, dan yel-yel yang diserukan.
Usut punya usut, ternyata sekumpulan lelaki tersebut ialah para fans JKT48. Gak kebayangkan, di daerah yang merupakan bab dari sejarah berkumpul para lelaki dengan model rambut ala Kim Jong Un, giginya di beri pagar, memakai celana botol/pensil, dan sepatu ala anak pendaki gunung kemudian meneriakkan yel untuk JKT48.
Duh... apa kata dunia? Inikah yang akan menjadi generasi penerus bangsa ini! Di ketika orang lain sedang berguru sejarah, mereka malah meneriakkan yel-yel buat JKT48.
Pemuja JKT48, Sumber : twitter (@FirstaDYI) |
Makassar, 19 Desember 2015
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog:5 Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID
0 komentar
Posting Komentar