Medan Perencanaan Bangunan Tahan Gempa

No Comments
Earthquake did not kill people, but the bad building did it”. Gempa bukan peristiwa yang mematikan, tapi bangunan yang buruklah yang membunuh manusia.

Data- data terakhir yang berhasil direkam menunjukkan bahwa rata- rata setiap tahun ada 10 gempa bumi yang menjadikan kerusakan yang cukup besar di Indonesia. Sebagian terjadi pada tempat lepas pantai dan sebagian lagi pada tempat pemukiman. Pada tempat pemukiman yang cukup padat, perlu adanya suatu pertolongan untuk mengurangi angka kematian penduduk dan kerusakan berat akhir goncangan gempa. Dengan memakai prinsip teknik yang benar, detail konstruksi yang baik dan mudah maka kerugian harta benda dan jiwa menusia sanggup dikurangi.

Gempa yang terjadi dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :
gempa ringan, sedang, dan besar.
  • Gempa ringan yang terjadi tidak menjadikan imbas yang berarti pada struktur, 
  • Gempa sedang sedikit berakibat pada struktur tapi masih aman,
  • Dan untuk gempa yang besar, sudah menjadikan kerusakan pada struktur, tapi strukturnya masih tetap berdiri dan tidak roboh. Itulah pentingnya perencanaan bangunan tahan gempa, supaya bangunan yang kita tempati aman, stabil, dan tidak gampang roboh dikala terjadi gempa.
Berikut ini ada prinsip- prinsip yang digunakan dalam perencanaan bangunan tahan gempa :

1. Pondasi :
Gambar 1. Desain Pondasi yang Digabungkan

Membangun pondasi memang sederhana, tapi pondasi yang berpengaruh memerlukan pengetahuan yang cukup. Sehingga fondasi bangunan yang baik haruslah kokoh dalam menyokong beban dan tahan terhadap perubahan termasuk getaran. Penempatan fondasi juga perlu diperhatikan kondisi batuan dasarnya.Pada dasarnya fondasi yang baik yaitu seimbang atau simetris. Dan untuk pondasi yang berdekatan harus dipisah, untuk mencegah terjadinya keruntuhan local (Local Shear).

2. Desain Kolom
Gambar 2. Desain Gedung dengan Kolom Menerus

Kolom harus memakai kolom menerus (ukuran yang mengerucut/ semakin mengecil dari lantai ke lantai). Dan untuk meningkatkan kemampuan bangunan terhadap gaya lateral akhir gempa, pada bangunan tinggi (high rise building) acapkali unsur vertikal struktur memakai adonan antara kolom dengan dinding geser (shear wall).

3. Denah Bangunan
Gambar 3. Denah Bangunan yang Dibuat Terpisah

Bentuk Denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris, dan dipisahkan (pemisahan struktur). Untuk menghindari adanya dilatasi (perputaran atau pergerakan) bangunan dikala gempa. Namun dilatasi ini pun menimbulkan problem pada bangunan yaitu :
  • 2 atau beberapa gedung yang dilatasi akan memiliki waktu getar alami yang berbeda, sehingga akan menimbulkan benturan antar gedung,
  • Ketidak efektifan dalam pemasangan interior, menyerupai : plafond, keramik, dll
  • Perlunya konstruksi khusus (balok korbel).
Konstruksi Balok Korbel untuk dilatasi struktur yaitu sebagai berikut.
Gambar 4. Konstruksi Balok Korbel

 4. Bahan bangunan harus seringan mungkin
Gambar 5. Konstruksi Bangunan dengan Kayu

Berat materi bangunan yaitu sebanding dengan beban inersia gempa. Sebagai teladan epilog atap GENTENG menghasilkan beban gempa horisontal sebesar 3X beban gempa yang dihasilkan oleh epilog atap SENG. Sama halnya dengan pasangan dinding BATA menghasiIkan beban gempa sebesar 15X beban gempa yang dihasilkan oleh dinding KAYU.

5. Struktur Atap
Jika tidak terdapat batang pengaku (bracing) pada struktur atap yang menahan beban gempa dalam arah horizontal, maka keruntuhan akan terjadi seperti, diperlihatkan pada gambar berikut:
Gambar 6. Konstruksi Bangunan dengan Pengaku (Bracing)

6. Konsep Desain Kapasitas (Capasity Design)
Konsep Desain Kapasitas adalah dengan meningkatkan daktalitas elemen- elemen struktur dan pertolongan elemen- elemen struktur lain yang diperlukan sanggup berperilaku elastik. Salah satunya yaitu dengan konsep “strong column weak beam”. Dengan metode ini, bila suatu dikala terjadi goncangan yang besar akhir gempa, kolom bangunan di desain akan tetap bertahan, sehingga orang- orang yang berada dalam Gedung masing memiliki waktu untuk menyelamatka diri sebelum Bangunan roboh seketika. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendesain kolom yang berpengaruh antara lain :
  • Pengaturan jarak antar sengkang, 
  • Peningkatan mutu beton, dan 
  • Perbesaran penampang. 
  • Serta untuk struktur bangunan dengan baja, bisa dimodifkasi sambungan relasi antara balok dengan kolom. Berikut ini yaitu gambaran pembentukan sendi plastis dalam perencanaan bangunan tahan gempa.
 
 Gambar 7. Konstruksi Bangunan dengan Capasity Design

Tiap Negara memiliki desain sendiri dalam merencanakan tingkat daktilitas untuk keamanan bangunan yang mereka bangun, hal ini tergantung dari letak geologi negara masing- masing. Misalnya Jepang yang menerapkan tingkat daktilitas 1. Dengan desain ini, bangunan di desain benar- benar kaku (full elastic). Berikut ini yaitu macam- macam tingkat daktlitas beserta kondisi yang ditimbulkan :
a. Daktilitas 1 : Keadaan elastis, dengan konsep ini tulangan di desain besar- besar untuk menciptakan bangunan menjadi kaku (full elastic). Contohnya : Jepang. Konsekuensinya, dikala gempa melebihi rencana, maka Gedung akan pribadi roboh tanpa memberi tanda (peringatan) terlebih dahulu. Kalo kata Dosen saya, ini Konsep desain bangunan yang 'menantang' kekuatan Tuhan. Hhehehehehe...
b.  Daktilitas 2 : Keadaan Plastis (intermediete)
c. Daktilitas 3 : Keadaan plastis dengan struktur yang daktil, perecanaan struktur dengan metode Capasity Design. Nah, ini beliau yang menjadi dasar perencanaan bangunan tahan gempa di Indonesia, yaitu dengan pembentukan sendi plastis di balok, sehingga dikala ada gempa Bangunan akan memberi 'tanda' atau peringatan terlebih dahulu, sehingga orang- orang dalam gedung memiliki waktu untuk menyelamatkan diri.

Berikut ini teladan kegagalan bangunan akhir kolom yang lemah (soft story) :
Gambar 8. Kasus Konstruksi Bangunan sebab Soft Story. Bayangkan... Ini terjadi di Kantor DPU Padang looh... (Kantornya orang- orang jago bangunan)
 
Gambar 9. Kasus Konstruksi Bangunan sebab Soft Story (Desain kolom yang terlalu kecil)

Soft story adalah istilah yang sering digunakan dalam pembahasan perihal struktur gedung tahan gempa. Soft story kalo diterjemahkan mentah-mentah ya artinya lantai lunak. Maksudnya? Apakah berarti ada juga istilah Hard Story? Hehehe... Sekedar analogi, kita bisa misalkan gedung bertingkat sebagai lapisan-lapisan kerikil bata yang ditumpuk di atas sebuah meja. Tiap lapisan kerikil bata merinpresentasikan lantai gedung. Sementara itu ada tumpukan kerikil bata lain. Tapi di tengah- tengah tumpukan tersebut, ada satu lapisan yang kerikil batanya memiliki rongga yang cukup besar di dalamnya. Kasus kegagalan bangunan di atas terjadi dikala Gempa di Padang beberapa tahun lalu, terlihat kan...? bahwa bangunannya memang kurang direncanakan dengan matang. Seperti iniloh ilustrasinya...

Gambar 10. Kasus Bangunan yang Mengalami Soft Story

Sekarang, misalkan kita guncang meja tersebut ke arah horizontal secara acak dan bolak balik. Dengan goncangan yang sama, ternyata kedua tumpukan kerikil memiliki sikap yang berbeda. Tumpukan pertama bisa saja masih bertahan selama goncangan berlangsung. Akan tetapi tumpukan kedua sudah runtuh akhir lapisan kerikil bata "palsu" yang ada di tengah-tengah tadi yang tidak berpengaruh menahan gaya dorong "fiktif" yang bekerja secara lateral dan bolak balik.

Lapisan kerikil bata lunak ini bisa di interpresentasikan sebagai soft story. Jika lapisan lunak ini berada di lantai paling atas, tentu bukan masalah. Justru yang jadi problem yaitu kalau lantai lunak ini berada pada lapisan atau lantai yang paling bawah. Dan.. kenyataannya memang menyerupai ini yang banyak dijumpai di lapangan. Mengapa demikian?

Berikut ini kami coba berikan dua teladan faktor yang menimbulkan keruntuhan sebab imbas soft story.

A. Kekakuan Dinding Bata Diabaikan.

Gedung-gedung tinggi yang bertipe gedung perkantoran, hotel, atau apartemen, khususnya di kota-kota besar, pada umumnya memiliki lobi yang berada di lantai dasar atau lantai ground. Ciri-ciri lantai lobi yaitu :
  1. Tinggi antar lantainya biasanya lebih besar daripada lantai tipikal di atasnya. Arsitek biasanya menginginkan hal ini supaya ruangan lobi terlihat lebih besar, luas, dan megah.
  2. Karena ingin luas, maka di lantai lobi, penggunaan dinding bata relatif lebih sedikit daripada di lantai-lantai atas yang memang membutuhkan dinding-dinding sekat antar ruangan.
Gambar 11. Lantai Lunak Akibat Bukaan yang Lebih Banyak

Akibatnya, menyerupai yang terlihat pada gambar di atas, lantai paling bawah menjadi lantai yang paling lunak (kurang kaku) dibandingkan lantai di atasnya. Salah satu solusinya yaitu menambah ukuran kolom sebesar mungkin sehingga bisa mengimbangi kekakuan- kekakuan lantai di atasnya.

B. Kekeliruan Antara Desain dan Pelaksanaan

  Gambar 11. Tumpuan yang di Desain Sebagai Jepit


Gambar 12. Kenyataannya, Tumpuan Berperilaku Sendi
Kenyataannya, rujukan berperilaku sendi. Contoh di atas yaitu teladan perkara yang sepele namun dampaknya luar biasa. Tumpuannya didesain jepit, akan tetapi pada pelaksanaannya, justru rujukan tersebut berperilaku sendi.

Kenapa sih rujukan itu bisa sendi? Ada beberapa penyebabnya, antara lain:

1. Tidak ada yang mentransfer momen dari kolom ke pondasi.
Ketika memilih sebuah rujukan itu yaitu jepit, maka perlu diperhatikan bahwa akan ada momen lentur di kaki kolom (tumpuan), dan.. harus ada yang bisa mentransfer momen tersebut ke pondasi dan terus ke tanah. Jika pondasinya tipe tiang (pile) baik itu pancang atau bor, setidaknya harus ada pilecap yang cukup berpengaruh untuk menahan momen dari kolom tersebut. Jika pondasinya pondasi tapak, sebaiknya kolom tidak didesain sebagai jepit. Pondasi tapak tidak efektif dalam menahan momen lentur akhir reaksi rujukan jepit.

2. Pondasi tidak didesain untuk menahan momen.
Kadang pondasi tapak sudah didesain untuk menahan momen, tetapi pada kenyataannya, kalau ada momen yang terjadi pada pondasi, akan ada perbedaan tekanan pada tanah di tempat ujung-ujung pondasi. Akibatnya bisa terjadi perbedaan settlement. Jika ada perbedaan settlement di ujung-ujung pondasi tapak, maka akan timbul rotasi. Adanya rotasi menimbulkan sikap jepit menjadi tidak tepat lagi.

Gambar 12. Adanya Rotasi yang Menyebabkan Perilaku Jepit Menjadi Tidak Sempurna

Rotasi pada pondasi tapak mengurangi kekuatan penjepitan
Kurang lebih 2 hal itulah yang paling banyak menimbulkan kegagalan soft-story. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh perencana?
  • Lantai yang dianggap "lunak" sebaiknya kekakuan kolomnya agak dilebihkan. Berbicara kekakuan artinya kita berbicara perihal variabel E, I, dan L. Menaikkan E berarti meninggikan mutu beton, hal ini relatif jarang dilakukan kalau hanya mau meningkatkan kekauan satu lantai saja. Mengurangi nilai L (tinggi antar lantai) juga sulit dilakukan sebab tinggi lantai yang sudah ditentukan oleh arsitek biasanya tidak bisa diubah lagi. Yang paling mungkin yaitu menambah momen inersia, I, yaitu dengan memperbesar ukuran kolom. Hal ini memang membutuhkan koordinasi dengan pihak arsitek.

  • Yang paling ideal adalah, kekakuan dinding bata juga sebaiknya dimasukkan ke dalam perhitungan. Akan tetapi di Indonesia khususnya, belum ada fatwa mengenai hal ini, apalagi dalam perencanaan bangunan tahan gempa. Sebenarnya boleh saja kita tidak memasukkan kekauan dinding bata ke dalam perhitungan, akan tetapi hal ini berarti dalam pelaksanaannya nanti dinding bata tersebut harus "terlepas" (tidak diikat) dari struktur utama. Hal ini tentu sangat berbahaya sebab dinding tersebut sewaktu-watu bisa rubuh dan menimpa orang yang ada di dekatnya.

  • Jika pondasinya tidak didesain untuk menahan momen, sebaiknya tidak memakai rujukan jepit.
Bagi yang ingin melihat perkara kegagalan bangunan dikala gempa di Padang bisa lihat di sini 

Dan bagi yang ingin mendownload detail penggambaran dan leaflet Bangunan Tahan Gempa bisa klik disini.
    Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

    0 komentar

    Posting Komentar